This blog is part of my digital diary of small stories. A personal blog of anything, including daily life, random adventures, college stuff, lessons learned, and life far from home. Can’t promise I’ll post often, but it’s all from the heart. Sometimes it’s non-sense, but I just feel like writing it anyway.

Kepingan Terakhir: Berjalan Bersama Luka

by

in

Sebelumnya, selama hari kesehatan jiwa se-dunia. World Mental Health 2025.
Aku menulis ini bukan sekadar untuk berbagi kisah, tapi untuk mengingatkan bahwa setiap luka batin pantas mendapat ruang untuk disembuhkan.
Mental health bukanlah sebuah privasi yang harus disembunyikan, juga bukan hal yang tabu untuk dikomunikasikan.
Betapa banyak orang di luar sana yang belum menyadari pentingnya memahami kondisi kesehatan jiwanya. Padahal kondisi ini tak kalah penting dengan kondisi fisik.
Ketika fisik kita sakit, kita akan beristirahat, mengkonsumsi obat-obatan, hingga mengkonsultasikannya ke dokter. Mengapa hal yang sama tidak kita lakukan pada kesehatan jiwa kita? Yang sebenarnya ada masalah yang belum terselesaikan atau ada “luka” atau “trauma” yang belum terselesaikan.
Seperti halnya kondisi fisik yang terluka, seharusnya kita mengobatinya. Pun demikian ketika jiwa kita yang terluka. Sudah seharusnya kita mengobatinya.
Kerap kali sebagian dari kita justru menghindar dari luka. Mencari hiburan, mencari kesenangan-kesenganan yang sifatnya instan. Padahal, sebenarnya itu hanya bersifat sementara saja. Sifatnya hanya sekedar mengindari masalah. Luka yang ada dalam jiwa tidak tersentuh sama sekali atau tidak menyembuhkan apapun.
Aku adalah salah satu contoh dari orang yang dulunya memandang remeh tentang kondisi psikologis. Hingga banyak kejadian yang membuatku penasaran siapa diriku sebenarnya, atau ada apa dengan diriku sebenarnya.

***Kehilangan dan Trauma

Dulu, aku adalah orang yang periang, bergembira, ceria, tidak takut dengan apapun. Namun, seiring berjalannya waktu, banyak kejadian tak menyenangkan yang terjadi.
Aku menduga puncaknya terjadi pada tahun 2021, tahun terberat dalam hidupku.
Saat itu posisiku sedang berada di Taiwan, berjuang menuntaskan pekerjaan laboratorium sekaligus tesis studi master.
Bisa dibilang, ini adalah tahun paling gelap. Di saat yang bersamaan dunia juga sedang tidak baik-baik saja. Pandemi COVID-19 menghentikan aktivitas normal manusia.
Januari 2021, tersiar kabar dari kejauhan bahwa gempa Bumi memporak-porandakan tempat di mana orang-orang tercintaku berada. Aku terpukul hebat. Dunia seolah berhenti berputar. Dan di kejadian itu, aku kehilangan banyak hal. Parahnya lagi, selang beberapa saat setelahnya, ayahku dinyatakan berpulang untuk selamanya.
Kebingungan, adalah ekspresi pertama ketika semua itu terjadi di waktu yang hampir bersamaan. Lagi, tidak bisa berbuat apapun. Aku menduga dari sinilah rasa sakit, atau trauma itu muncul. Akhirnya, aku menjadi orang yang benar-benar takut kehilangan orang-orang sekitar, seperti keluarga maupun teman-teman yang cukup dekat denganku.
Ketika itu terjadi, aku akan sangat menyalahkan, benci, dan tak bisa memaafkan diri sendiri.
Setelah melewati masa kehilangan itu, aku mulai menyadari bahwa luka yang tak terlihat justru yang paling lama membekas

***Perjalanan Memahami Diri

“Fear of Losing”
Takut kehilangan adalah luka atau traumaku. Inilah yang baru terdeteksi kurang dari dua pekan lalu. Yang akhirnya kuanggap sebagai pelengkap dari perjalanan emosionalku. Aku telah selesai dengan diriku.

Mendeteksi fear of losing ini tidak mudah. Aku harus merenung berminggu-minggu lamanya, termasuk berkali-kali mengunjungi psikolog dan psikiater. Aku benar-benar penasaran dengan diri sendiri.
Ini bermula ketika beberapa kejadian beruntun menimpaku di saat yang hampir bersamaan. Rasa penasaran benar-benar muncul setelahnya.

Juli – Agustus – September 2025 adalah bulan pembelajaran penting untukku. Beberapa hal terjadi di waktu dan jeda yang sangat singkat.
Uniknya, reaksiku hampir sama saat kejadian beruntun tersebut terjadi.

Panik, over-reaktif, bahkan yang terparah adalah membuat orang lain benar-benar tak nyaman atau bahkan ketakutan terhadap reaksiku. Jujur, saat semua terjadi aku seperti orang yang kehilangan kontrol. Semua terjadi begitu saja.
Menurutku ini aneh, karena aku dikenal sebagai orang yang kuat dalam menahan tekanan. Regulasi emosiku ketika bekerja dalam tekanan bisa dibilang cukup baik. Tapi, tidak kali ini. Semuanya tiba-tiba rapuh seketika.
Pasca kejadian beruntun tersebut terjadi, badanku bergetar hebat, jantungku berdetak sangat kencang. Aku benar-benar tidak bisa memaafkan diriku. Aku terjebak dalam rasa bersalah yang begitu dalam. Termasuk sangat membenci diriku sendiri. Akibatnya, semua rutinitas atau pekerjaan harian terhambat.
Aku tidak akan menyalahkan orang lain atas kondisiku. Justru sebaliknya, aku berusaha mencari tahu apa yang terjadi dengan diriku.
Setelah berulang kali mengunjungi ruangan psikolog dan psikiater, barulah aku berhasil mendeteksi satu hal, “Aku takut kehilangan.” Aku takut kehilangan orang-orang sekitarku. Inilah luka atau trauma yang telah lama itu. Puzzle terakhir yang tak pernah tersentuh dalam perjalanan emosionalku.

Aku belajar bahwa penyembuhan bukan garis lurus. Ada hari di mana aku merasa baik-baik saja, dan ada hari di mana aku kembali runtuh. Tapi setiap kali jatuh, aku belajar untuk bangkit sedikit lebih lembut pada diriku sendiri.

***Pemulihan dan Permintaan Maaf

Ingin rasanya aku menjelaskan ini pada orang-orang yang “kusakiti” akibat trauma masa laluku. Aku sangat ingin menjelaskan apa yang terjadi, dan apa yang baru kutemukan.
Aku ingin mereka tahu bahwa aku sama sekali tidak bermaksud untuk menyakiti mereka. Aku ingin mereka tahu bahwa apa yang muncul saat itu adalah reaksi yang saat itu belum bisa dikontrol. Aku sedih dan sangat menyesalinya.
Kini, sudah sangat berbeda. Aku perlahan menyembuhkan sisa-sisa trauma atau luka tersebut.

Dan tentu, aku ingin meminta maaf dengan sepenuh hatiku. Meminta maaf dengan sangat dalam. Permintaan maaf yang sangat tulus dari dalam jiwaku. Termasuk memperoleh maaf dari mereka. Entah bagaimana caranya, tapi inilah yang aku ingin lakukan.
Pun aku masih memiliki harap agar diberi kesempatan hubungan bisa terjalin kembali.

Jika kalian membaca tulisan ini, inilah yang ingin kusampaikan:
“Hi, semoga harimu penuh dengan keceriaan dan kebahagiaan.
Aku yang telah sekian lama hilang ini kembali muncul dalam hidupmu. Aku ingin memohon maaf atas apa yang terjadi.
Aku sangat sadar apa yang dahulu kulakukan benar-benar tidak tepat. Sayangnya saat itu semua di luar kendaliku.
Ketahuilah, aku tidak ada maksud untuk menyakiti, apalagi menakuti. Hanya saja, ada hal yang baru kusadari, reaksiku saat itu adalah reaksi takutku. Ya, aku takut kehilangan. Aku takut kehilangan orang-orang sekitarku. Itu adalah trauma masa laluku, yang perlahan mulai kusembuhkan.
Hi, jikalau kesempatan itu masih ada. Aku ingin sekali menunjukkan perubahan apa yang terjadi pasca serangkaian peristiwa yang terjadi.
Sembari memohon maaf, Aku juga ingin berterimakasih. Telah membantu melengkapi puzzle kecil terakhir dalam hidupku.
Hi, mungkin tida mudah. Tapi aku berharap semoga maafku ini bisa diterima.
Sekali lagi, terimakasih telah menjadi bagian penting dalam perjalanan hidupku.”

***Belajar

Kini aku belajar bahwa memaafkan diri sendiri adalah bagian dari mencintai diri.
Aku tidak bisa mengubah masa lalu, tapi aku bisa tumbuh darinya
Kini aku belajar bahwa keberanian bukan berarti tidak takut, tapi berani menghadapi rasa takut itu dengan lembut dan sadar.
Aku sadar, perjalanan penyembuhan bukan tentang melupakan luka, tapi tentang berjalan berdampingan dengannya, dengan lebih lembut, lebih sadar, dan lebih penuh kasih.
Karena pada akhirnya, setiap luka yang disembuhkan dengan cinta, akan berubah menjadi kebijaksanaan.

Pun Kini, dengan memahami diriku sendiri, aku juga belajar untuk memahami setiap orang yang kutemui.
Setiap kali seseorang bereaksi atau meluapkan emosi padaku, aku berusaha melihatnya dari dua sisi.
Pertama, aku bertanya pada diri sendiri.
Adakah sesuatu dalam diriku yang perlu diperbaiki?
Lalu, aku mencoba menelusuri sisi lain: apa yang mungkin telah mereka alami di masa lalu?
Aku percaya, setiap reaksi yang muncul hari ini adalah hasil dari perjalanan panjang yang pernah mereka lalui.
Di sanalah empati tumbuh. Bukan dari keinginan untuk selalu benar, tapi dari kesadaran bahwa setiap orang membawa lukanya masing-masing.

Jika kamu yang membaca ini sedang berjuang dengan luka batinmu sendiri, percayalah kamu tidak sendirian. Luka bisa sembuh, asal kamu berani menatapnya dan mencari pertolongan yang kamu butuhkan.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *